![]() |
( ILUSTRASI ) |
Di satu
sisi, AI digunakan untuk memperkuat sistem keamanan siber: mendeteksi pola
serangan, mengotomatiskan respons terhadap ancaman, dan memprediksi kerentanan
dalam jaringan sebelum dieksploitasi. Namun di sisi lain, kelompok peretas
termasuk aktor negara mulai memanfaatkan AI untuk:
- Membuat malware cerdas yang mampu menghindari
deteksi antivirus konvensional
- Menghasilkan deepfake dan phishing berbasis NLP
yang jauh lebih meyakinkan
- Meluncurkan serangan otomatis berskala besar terhadap infrastruktur digital nasional
Dalam
laporan dari Global Cyber Threat Council, serangan ransomware berbasis AI
meningkat hingga 220% pada kuartal pertama 2025, dengan banyak menyerang sektor
vital seperti:
- Sistem kesehatan (AI diagnosis disabotase)
- Infrastruktur energi (smart grid dan sensor IoT
dilumpuhkan)
- Keuangan digital (deepfake CEO digunakan untuk manipulasi transfer)
Salah satu
kasus menonjol terjadi di Jerman, ketika perusahaan energi nasional mengalami
blackout lokal akibat serangan AI terhadap sistem SCADA berbasis IoT.
Menghadapi tantangan ini, sejumlah
negara dan lembaga internasional mendorong:
- Standarisasi etika dan penggunaan AI di sektor
keamanan
- Pengembangan sistem pertahanan berbasis AI yang
bisa menjelaskan keputusannya (explainable AI)
- Kolaborasi sektor publik-swasta untuk membangun AI shield berbasis open-source
- Machine Learning untuk deteksi anomali jaringan
real-time
- AI dalam Security Information and Event
Management (SIEM)
- Neural network dalam enkripsi dan pemulihan data telah berhasil mencegah berbagai ancaman besar sebelum berkembang luas.
![]() |
( ILUSTRASI ) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar